[Sebuah resensi dan catatan catatan penting dari hasil baca buku Soe Hok Gie : Zaman Peralihan]
Soe Hok Gie, seorang aktifis Universitas Indonesia. Dia pernah menjabat di sebagai ketua Senat Mahasiswa FSUI dan dua kali merasa patah hati. Kadang dia agak getir bicara soal wanita.
Walaupun secara jujur kita harus akui bahwa kadang kadang kita tertarik pada rekan kita. Dan biasanya kita menekan perasaan ini… the tragic life? Apa boleh buat, yang namanya mencari pasangan ideal tak semudah membeli baju. Sudah pasti, langka. Soe Hok Gie selalu saja berurusan dengan wanita yang selalu maju-mundur. Yang bimbang tak mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Memang soal cinta bukan matematika. Hati dan otak tak selalu selaras sejalan.
Sampai sampai diapun pernah menulis Barangkali saya harus belajar jatuh cinta dengan kesepian.
Seorang pemuda yang berpikir kritis. Dia anti-komunis, tapi dia juga tidak menyetujui pembantaian kejam G30S PKI yang mencecerkan banyak darah dan mengatung ngatungkan 80.000 nyawa manusia di penjara tanpa peradilah. Kegelisahannya tentang kemanusiaan, politik, dan keindonesiaan terbaca jelas. Dikenal sebagai seorang yang vokal. Semasa menjadi mahasiswa bisa disalurkan melalui tulisan, demonstrasi dan aksi. Selepas itu, dia masih aktif mengirimkan tulisan ke media. Pikirannya yang idealis terkadang membuat dirinya dirundung kesepian. Menyaksikan kawan seperjuangan lebih memilih untuk duduk di gedung DPR, masuk pemerintahan dan beberapa dipelintir kepentingan partai dan ormas ormas yang mengkaosinya. Mereka mengorbankan ideologis seorang mahasiswa yang seharusnya tidak memihak kepada siapa siapa, kecuali keadilan (moral force). Soe Hok Gie, akhirnya dia lebih memilih terasingkan, kesepian, daripada hidup dalam kemunafikan. Setelah lulus, lalu dia menjadi dosen di FSUI yang juga terkadang membuatnya bosan. Jenuh.
Bagi saya kebenaran biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan.
Dan, tidak selayaknya kita menilai orang hanya berdasarkan stigma yang sempit. Hidup bukan hanya hitam dan putih. Kebanyakan kita tidak tahu alasan apa yang melatarbekangi suatu tindakan. Mungkin saja, ada suatu hal yang prinsipil.
Politik menjadi baju dinas bagi seorang warga negara. Didalam buku ini ada kutipan Edward Shils yang mengatakan bahwa Dinegara negara sedang berkembang, politik merupakan gelanggang yang tidak mungkin dihindarkan kaum intelektual, betapapun ia berusaha “menjaga jarak”.
Ya, benar juga. Beberapa waktu lalu saya juga pernah membaca bukunya DR.Dr.Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) yang berjudul Saatnya Dunia Berubah. Betapa menurut saya gelanggang politik mengerikan sekali, nasih hidup beribu ribu manusia bisa dimainkan.
Soe Hok Gie juga menuliskan tentang The crime of silence. Dimana sikap diam dan membiarkan kejahatan berlangsung adalah kejatahan.
Sebagai seorang biolog, saya seringkali menemukan banyak istilah yang tidak kuketahui dalam buku ini. Butuh googling untuk bisa mengerti secara pasti. Tapi buku ini tetap menjadi “makan malam” yang cukup nikmat untuk mengembangkan pikiran anak muda. Wajib baca.
Soe Hok Gie juga pemuda yang suka melakukan kegiatan menantang, dia menjadi salah satu pelopor pembentukan Mapala UI. Pada tahun 1967 dia mulai mencoba mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet. Baginya, gunung bukan sekedar pelepas stress. Tapi gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Apakah seseorang itu selfish atau orang yang memikirkan orang lain.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan cinta tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan disamping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi.
Senada dengan perkataan Boden Powell Suatu negara tidak akan kehabisan pemimpin jika didalamnya masih terdapat anak muda yang penuh keberanian mendaki gunung dan menjelajah lautan.
Soe Hok Gie, adalah putra keempat dari keluarga penulis produktif. Masa kecilnya diselipi kenakalan. Dia sudah memperlihatkan ketidaksenangannya pada ketidakadilan.
Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan muris bukan kerbau. Tulisnya dalam buku harian, setelah berdebat dengan gurunya.
Seseorang manusia sulit sekali lepas dari masalalunya. Apa yang dialaminya, yang dilihatnya dan yang dihayatinya akan selalu berbekas pada dirinya. Bekas bekas ini akan selalu mewarnai seluruh hidupnya.
Selama pasca lulus, dia seringkali merindukan masa mudanya sebagai mahasiswa yang aktif, “cerewet”, kritis.
Masa muda dalam usia dimana manusia mencari pola pola kepribadiaanya, akan selalu mewarnai kehidupan manusia. Waktu yang paling krusial pagi pembentukan kepribadiaan seseorang adalah apa yang dilakukan pada masa mudanya. Kepribadian yang sering dibentuk dari masa lalunya yang panjang.
Bagi banyak orang, Hok Gie menjadi seorang yang idealis, jujur, dan sekaligus mengerikan. Dia mengidentikan gerakannya sebagai sebuah gerakan moral.
Pertanyaan tentang realitas seorang idealis dia pertanyakan pada rektor UI yang waktu itu menyetujui untuk dipinang oleh Soeharto sebagai menteri.
Realitas realitas baru yang dihadapi para idealis adalah tetap bertahan dengan cita cita idealismenya, menjadi manusia yang non-kompromis. Seperti layaknya Don Kisot melawan kincir angin. Atau menjadi dia yang menjadi kompromis dengan situasi baru. Seperti pilot yang tidak pernah terbang.
Tuhan membenci mereka yang berkorban setengah setengah, karena itu engkau harus memberikan jiwa ragamu seluruhnya (Douwes Dekker)
Tahun 1968, Dia menerima undangan untuk melakukan diskusi, ceramah, kunjungan di Amerika Serikat. Turis terpelajar selama 75 hari, dia berdiskusi tentang banyak hal. Dan satu hal yang dia sadari, Presiden Soekarno telah berjasa membentuk identitas sebagai suatu negara secara Internasional. Sekorup apapun kabinetnya, beliau juga telah memberikan jasa besar pada Indonesia.
Orang Indonesia sekarang amat mudah merasionalisasikan keadaan, kepengecutan dirasionalisasikan sebagai kepatuhan, kemalasan dirasionalisasikan sebagai kesulitan ekonomi.
Soe Hok Gie adalah manusia biasa yang kadang juga merasa lelah, stagnan, dan kadang bingung.
Lebih baik bertindak keliru daripada tidak bertindak karena takut salah. Kalau salahpun jujur terhadap diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan arah yang tepat. Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapapun. Kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapapun juga, tetapi harus dihayati secara “kreatif”. A man is as he thinks.
Soal pemberkasan?
Hingga sekarang, Indonesia masih mensyaratkan surat tidak pernah dipenjara dan tidak pernah melakukan hal kriminal dan sejenisnya. Bagi Soe, dulu, ketika dia mengurus pasport. Surat tidak terlibat G 30 S PKI adalah syarat mutlak bagi siapa saja. Jika tidak punya, maka dia tidak akan bisa sekolah, pindah rumah, dan bepergian. Dia melakukan protes tentang hal ini yang diterbitkan di media.
Memang mereka pernah dipenjara dan berbuat salah. Tetapi jika masyarakat tidak mau menerima mereka kembali, mereka tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi manusia yang baik kembali.
Aneka tuduhan tuduhan seringkali berselancar padanya. Padahal dia hanya ingin menjunjung kemanusiaan. Perjuangan melawan prasangka memerlukan waktu yang lama.
Pegawai pegawai instansi itu adalah orang orang yang simpatik, tetapi birokrasi di Indonesia dapat membuat orang menjadi gila.
Akhirnya, pada Desember 1969 Soe Hok Gie, pergi ke Gunung Semeru bersama kawan kawannya. Dia berkeinginan untuk bisa merayakan ulangtahunnya yang ke 27 diatas puncak tertinggi pulau Jawa. Hanya dipuncak gunung aku merasa bersih.
Puisi filsuf Yunani yang menjadi favoritnya adalah Nasib terbaik adalah tidak ditakdirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.
Sepertinya cita cita Soe Hok Gie untuk meninggal dialam bebas terwujud. Dia meninggal karena terkena gas beracun di Puncak Semeru. Dalam sebuah tulisannya Kehidupan sekarang benar benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua dikurung dikebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan yang kasar dan keras untuk seminggu kira kira. Diusap oleh angin dingin yang seperti pisau atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Dekat dan menyatu dengan alam. Dan juga Orang orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.
Maka, berbahagialah Soe Hok Gie yang telah mati muda. Memberikan inspirasi pada pemuda Indonesia.
Setiap pelangi yang terkadang Tuhan berikan corak pada hidup kita. Mungkin sekarang aku harus berfikir dengan cermat. Memperbaiki dasar, mengamati niat, dan menjadi lebih peduli tentang banyak hal. Semua ditujukan Tuhan tidak ada yang sia sia. Semoga Tuhan menempatkan hati kita pada arah yang baik.