Hey Nona yang rambutnya kecoklatan. Apa kabar? Barangkali kau memang perlu membaca tulisanku ini sekarang.
23 Juni,
Senja itu, langit sedang mendung. Perjalanan air hujan masih mengayun. Tak ada kegiatan yanng lebih menyenangkan kecuali melamun. Aku hanya memandangi jendela. Sekelebat, kutangkap gambarmu. Lari tergopoh mendekati bingkai jendela. Merintih memintaku untuk membuka pintu segera. Saat itu matamu basah, dadamu bersimbah darah. Tapi, kutahu keduanya tak bisa kubersihkan dengan sapu tangan atau kain kasa.
Bisakah kau bantu aku?
Meski tak terlihat jelas, kutahu kau sedang terkena luka serius. Jauh lebih mematikan dari sekedar cacar. Bukan hanya menimbulkan ruam dan wajah suram, bahkan kamu bisa berubah jadi pendendam.
Aku mencintainya. Aku mempercayainya. Aku selalu mengharap kebaikan baginya. Bahkan mimpiku kubagi padanya.
Aku biarkan kau mengoceh tentang masa lalu sepuasnya. Ibarat genangan, kau hanya perlu mengalirkannya lagi agar pikiranmu lebih segar. Membuka sumbatan yang mengganjal. Aku tak hendak menyalahkanmu karena terlalu gegabah. Toh, jatuh cinta memang reaksi kimia yang kadang bikin akal kehilangan job desknya.
Kulihat wajah asliku memantul dari kaca jendela bus kota. Aku tampak lebih tua dengan garis bibir yang melengkung kebawah. Mataku lesu tak bercahaya. Rautku mengkerut. Air mata menggenang membentuk selokan di pipiku yang gempal karena menahan kesal. Setelan dress warna abu-abu makin membuatku seperti guru SD jaman dulu. Batinku, kesalahan apa yang sudah kuperbuat?
Pertambahan usia yang seharusnya kurayakan dengan bahagia, justru kutemukan wajah sedih yang kusimpan dari orang yang katanya kusayang.
Kamu mengerang kesakitan. Barangkali darah sudah membeku. Nafasmu juga jadi hampir putus. Aku hanya bisa mendesak : teruslah bicara, teruslah bercerita, alirkan semuanya, biarkan kenangan-kenangan itu keluar. Menyimpan memang menjaga. Diam memang amanah. Tapi membiakan rasa sakit dalam hati adalah cara paling pas untuk jadi zombi.
Dengan terpaksa aku merisak ketenangannya. Lamat-lamat angin malam di kafe itu mengirimkan pesanku. Dia mau berubah. Sepintas tampak menuntut, tapi kau tahu aku hanya ingin menyelamatkan “kita”. Kata ganti yang dulu sering kugunakan saat menghidupkan mimpi-mimpi.
Memang hal paling menakutkan bagi orang yang kasmaran adalah hasrat untuk mengakusisi pasangan.
Kau tahu apa yang lebih cepat menular dibanding virus? Rasa takut. Bercampur darah, kulihat dia menggeliat menyebar menggerogoti hatimu makin parah. Takut menuntunmu terus sembunyi dari pikiranmu yang pelik. Sepertinya, kau tak benar -benar berani menghadapi kenyataan. Kalau perbedaan tak pernah bisa disamakan dengan sekali ayunan kuas putih. Apalagi seorang diri.
Aku tak pernah keberatan menyimpulkan senyum saat dia pergi bekerja. Dengan senang hati kupilihkan baju paling necis. Aku senang menyiapkan makan. Aku selalu berusaha jadi yang terbaik.
Hey Nona.
Mungkin kau perlu tahu, perbedaan adalah hal yang biasa. Pasangan yang melengkapi puzzle mu itu nyata ada. Mencintai dirimu sendiri harusnya jadi to do list pertama. Meski cintanya pantas untuk diperjuangkan. Tapi hatimu yang patah butuh sambungan. Tubuh menggigilmu perlu ranjang.
Kadang kau perlu jadi egois untuk apa yang kamu bilang prinsip hidup “optimis”.
Dan diam-diam cintaku meminta balasan. Setimpal. Tapi sayang, tak pernah kesampaian, sampai hatiku mulai retak dan berantakan.