Disebuah negeri, antah berantah yang sudah terlalu banyak terlahir manusia. Sampai sampai pohon saja tidak cukup muat untuk menempatinya.
Tanggal 15, purnama kesekian kalinya.
Aku berjalan ditengah kota. Melintasi malam yang sudah mendingin sejak beberapa jam yang lalu. Angin menerobos pori, sesekali membuat bulu kuduku berdiri. Musim kemarau yang cukup menyengat. Berjejal, melewati ribuan orang. Aku hanya ingin berlalu, berjalan, dan menghabiskan waktu. Aku hanya ingin berlari meninggalkan sepi. Sesukaku.
Hingga aku sampai disebuah pertigaan jalan, didepan toko roti yang tidak pernah sepi. Aroma wangi yang merangsang air liur. Takdir membawaku bertemu dengan teman baru, berjabat tangan dan mengobrol sebentar.
Hey. Hanya sekedar Hey. Dan percakapan ringan tentang banyak hal. Tidak ada yang lain. Kami berkenalan dan menjadi teman. Jauh.
Orang orang sibuk berlalu. Bercanda. Bergandengan tangan. Bercakap. Bertengkar. Bernyanyi. Kesepian. Ada juga orang tua yang sedang mengajari anaknya bicara. Hidup dipenuhi hal hal yang sama. Hanya waktunya saja yang beda beda.
Hari berlalu. Lama sekali. Musim berganti berkali kali. Buah mangga juga sudah panen lebih dari dua kali.
Aku pergi ke sekitar kota dimusim yang sama. Melewati musim kemarau yang sama. Berjalan. Menghabiskan waktu. Mencicipi debu. Meresapi dingin yang bikin beku.
Bulan purnama.
Wajahku mulai menua. Sudah ada satu garis keriput dibawah mata. Lampu merah, tengah kota. Banyak sekali orang yang berjalan kaki. Mereka sibuk masing masing. Sedangkan aku juga sibuk dengan pikiranku sendiri. Ah, selalu seperti ini. Dunia diisi oleh orang orang yang sibuk dengan hidupnya sendiri. Tidak banyak orang yang saling perduli. Lantas, aku memutuskan untuk mengisi perut. Sepotong roti mungkin bisa menambah energi untuk melintasi jalanan yang selalu padat.
Kerincing pintu membuatku terasa sedikit sendu. Aku menuju rak tempat roti keju dipajang. Banyak sekali orang yang sedang memilih rasa yang mereka suka. Dan aku hanya ingin roti keju. Itu saja.
Tak disangka, kulihat seseorang didepanku membuatku mengernyitkan dahi.
Dan sekarang aku melihatnya lagi. Dekat. Aku bisa mengamati rambutnya yang tidak terlalu lebat. Sepertinya aku kenal. Tapi kami saling diam. Kami saling sungkan untuk menyapa lebih dulu. Aku terdiam dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Sibuk berfikir bagaimana menyapanya dengan sopan. Aku berdiri disana agak lama. Mencari cara. Dia masih meneliti setiap roti yang ingin dia pilih. Rasa keju juga.
“Hei aku Juan yang waktu itu berkenalan di pintu depan. Masih mengenalku? Kamu sering beli roti keju disini?” tanyaku sedikit basa basi. Aku merasa khawatir dia tidak mengenalku. Malu. Sambil tersenyum, mencoba biasa saja. Sebenarnya aku sedikit grogi. Apakah dia ingat wajahku? Apakah dia ingat diriku? Ingat namaku?
“Hei. Tentu sajalah aku masih mengingatmu. Iya, seringkali. Setiap aku merasa lapar dimalam hari. Kau suka juga?” katanya dengan nada yang santai.
“Iya” kataku sambil menggigit bibir bawahku. Dingin. Menggerakkan kulit wajahku. Menutupi kegerogianku. Kami bicara kesana kemari. Sambil berdiri diantara rak roti keju kesukaan kami.
Tanpa disadari, agak lama, membicarakan roti keju. Makanan kegemaran kami. Saling merekomendasi. Beberapa saat kemudian kami saling berlalu. Di depan pintu. Saling melempar senyum. Melambaikan tangan. Sebenarnya, mungkin aku tidak ingin malam itu cepat berlalu. Mungkin kita bisa membicarakan roti lainnya. Harapku.
Dia kekanan, aku kekiri. Kami pergi. Beberapa langkah, aku berbalik melihat punggungnya yang menjauh. Dia terus berlalu. Aku meneruskan perjalanan. Diapun berbalik melihat punggungku yang menjauh. Aku berlalu. Dia meneruskan perjalanan. Kami berpisah didepan pintu tempat kami berkenalan.
Kali ini, aku tak tahu ini rasa macam apa.
Terkadang banyak rasa yang tidak bisa diterjemahkan dengan gamblang. Tidak terdefinisikan. Aku mencarinya di ensiklopedia berharap menemukan jawaban. Tidak ada.
Sejak saat itu, entah apa yang merubahku. Setiap pagi, aku melihatnya berjalan melewati persimpangan jalan. Dia melangkah dengan cara yang menarik perhatianku. Terkadang sendirian, terkadang bersama teman temannya. Aku hanya bisa berdiri dibalik jendela, mengamatinya dari jauh. Entah kenapa, aku selalu bahagia melihatnya tertawa macam itu. Mendengar kicauannya tentang kesepiannya yang lugu, makan malamnya yang sendu, obrolannya yang renyah dengan teman temanya dan cerita ceritanya yang konyol. Aku mendengarnya dari angin yang merambatkan suara melalui kaca jendela.
Sesekali aku bertanya pada diri sendiri, kenapa kau suka sekali melihat jendela disetiap hari?
Entahlah, mungkin aku berharap dia berdiri, melihatku yang mengamatinya setiap hari. Sembari kita saling melempar senyum terbaik, sekali lagi. Memastikan makna apa yang kita rasa.
Jika itu adalah cinta, aku akan bersedia menunggunya mengetuk pintu rumahku. Merelakan diriku dibawa pergi menikmati pagi, pergi dari ruanganku yang sepi, membersamainya berjalan di jalan yang panjang.
Tapi jika itu bukan cinta, aku akan pergi keluar kota.