Merbabu, menjadi gunung ketiga dalam sejarah pendakianku. Salah satu perjalanan yang baru sempat kutuliskan sekarang. Perjalanan singkat pada 27 – 29 Desember 2013 lalu.
Merbabu, kata orang gunung ini adalah pilihan yang tepat bagi pendaki baru. Tapi menurut aku, ungkapan itu tidak terlalu tepat. Setiap gunung bisa menjadi awal untuk setiap pendakian, semua tergantung dari kesiapan. Dimulai dari obrolan ringan diantara kami, akhirnya Merbabu menjadi tujuan. Tidak banyak persiapan, tidak banyak amunisi. Semua hal berjalan begitu adanya.
Mendaki di musim penghujan? Orang orang terdekat mulai menyangsikan. Tapi aku tetap berangkat dengan tekad. Nekat. Semoga semua baik baik saja.
Tanggal 27, malam hari sekitar pukul 20.00 kami ber sembilan ada aku, Shinta Chandra Dewi, Ridho Lestari, Arham Nurulloh, Fikri Fauzi Firdaus, Toufik Heri Wibowo, dan dua teman baru kami Ryan Nugroho Aji dan Muryan Whanuri. Berangkat menuju Boyolali dengan sepeda motor. Kami akan mendaki melalui jalur Selo. Disambut oleh udara dingin yang menggigil. Tersesat. Motor bebek yang kutumpangi tidak cukup kuat membawaku menanjaki jalur terjal, lagi lagi aku diturunkan dari kendaraan dan harus berjalan di kegelapan. Apa badanku terlalu besar? Aku pikir tidak demikian.

Ya, akhirnya kami sampai di Selo pada pukul 12 malam, tepatnya di basecamp Pak Narto. Hanya ada rombongan kami. Sepi. Dingin merasuki setiap celah pori menggerakkan pintu yang berdecit, dan membuat suara diantara jendela yang tidak bisa dikunci. Sayup sayup suara sang pemilik rumah pun tak ada. Agak mengerikan. Lapang. Aku menenggelamkan diri dalam sleeping bag menikmati malam mempersiapkan energi untuk esok pagi.
Teng, pagi terbit cepat sekali. Suara angin menjadi pemecah pagi. Membawa puing puing harapan untuk bisa ada di puncak Merbabu. Sarapan nasi goreng telur, teh hangat sudah dipersiapkan oleh pemilik rumah yang belum sempat kami sapa malam tadi. Membawa barang seperlunya, sisanya kami tinggal di kendaraan.
Pukul 8.30 pagi kami melakukan pendakian. Tas carier yang aku bawa kali ini tidak terlalu berat dibandingkan perjalanan sebelumnya. Karena kami hanya sebentar diatas sana. Jadi baju ganti bisa ditinggal di basecamp saja. Oke, setapak demi setapak terlewati. Disisipi pohon rindang, suara binatang, kebun kentang, jalanan setapak, membuatku tak henti mengumpulkan asa dan doa yang selalu menjadi mantra. Kuatkan aku ya Allah, berikanlah keselamatan. Aku menjadi lebih riang.
Beberapa menit berlalu, tiba tiba rasa takut datang menghampiri. Aku merasa tidak enak badan. Pikirku, ini memang masa yang tidak terlalu tepat untuk melakukan pendakian. Jadwalnya datang bulan. Masa PMS (Pre Menstrual Syndrome) mulai terasa. Setiap bulan aku biasanya mengalami Dismenore. Ketakutanku semakin memuncak. Tiba tiba badanku menjadi lemas, ada yang menyedak nyedak dari tenggorokan. Beberapa kali aku ingin muntah. Entah karena apa. Ketidakstabilan hormon. Aku tidak berdaya. Isi lambungku terus saja memberontak ingin dikeluarkan. Pahit, menggigil, panas, merasuki tubuhku yang menjadi tidak stabil.
Klise. Aku ingin kembali. Turun. Pulang. Istirahat dikamar. Hampir sama dengan perjalananku yang pertama di gunung Semeru. Persiapan mental dan fisik yang kurang baik. Bayang bayang sakitnya masa PMS diatas gunung membuatku semakin sakit. Ingin muntah, dada sesak, dan perut mulai tidak karuan.
“Aku turun saja ya” | “Yakin kamu akan turun sendirian? Pos 2 sebentar lagi, kalau kamu turun, itu akan lebih jauh dibanding kamu naik” | Aku berfikir. Masa iya aku mau menyerah begitu saja. Aku percaya. Aku semangat. Dan nyatanya aku selalu tertipu oleh dorongan mereka. Tapi aku bersyukur punya rekan perjalanan yang tidak pernah membiarkanku menyerah begitu saja. Setidaknya aku tidak boleh menyerah pada diriku sendiri. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap maju. Cukup lama kami beristirahat agar kondisi perutku stabil. Segala teknik penyembuhan sudah aku terapkan. Mungkin aku merasa shock dan kondisi psikis yang tidak cukup baik. Baiklah, aku tidak akan menyerah.
Aku berjalan. Melangkahkan kakiku perlahan. Membiarkan dada yang mulai menyumpal nyumpal ingin muntah. Aku berkompromi dengan diriku sendiri. Aku menikmati setiap tanah yang kuinjak. Aku menikmati angin. Melupakan bayangan rasa sakit yang seringkali datang setiap bulan. Aku tetap berjalan, tegar dan selalu berdoa. Aku menjadi baik baik saja.
Sampailah kami di pos 2. Tubuhku jauh lebih baik. Coklat, madu, air minum cukup membuatku menjadi lebih berenergi. Tips kala diri sudah lelah mendaki adalah berjalanlah di belakang kaki yang berjalan dengan stabil. Matamu akan fokus pada kaki yang terus melangkah maju. Kita akan menjadi lebih kuat, tidak mudah menyerah, dan mengikuti langkahnya. Jangan biarkan temanmu meninggalkanmu lebih dari 6 meter di depanmu. Dan jangan biarkan dirimu berada di paling belakang. Lalu, saat semua tubuh sudah dalam keadaan stabil, orang yang paling lemah dirombongan bisa ditempatkan pada posisi paling depan. Ini juga cukup efektif untuk mendorongnya tidak mudah menyerah, memimpin dan membuat ritme perjalanan yang menyenangkan. Bagaimanapun si lemah (seperti aku) tidak akan membiarkan teman temannya membuat ritme untuk terlalu sering berhenti karena bisa membuat raga merasa cepat lelah. Berjalanlah secara perlahan dan stabil. Lakukanlah respirasi disetiap langkah kaki.
Sampilah kita di Pos 4 Savana 1 pada pukul 2.00 siang. Enam jam perjalanan. Lalu kami mendirikan tenda. Matahari cukup gagah memanggang kulit. Angin berhembus kencang. Udara dingin. Kulit menjadi kering sekali rasanya. Kami beristirahat, sholat, berbenah, masak, menikmati awan, bermain di savana, berfoto, bercanda, dan hal yang tidak pernah aku tinggalkan ketika mendaki : menulis. Merangkum apa yang aku lalui dan sedikit bermain kata dengan buku harian. Seperti biasa. Perjalanan cukup singkat.
Waktu berjalan cepat. Senja menjelang, Malam tiba. Menghaturkan seperangkat kabut dan angin kencang. Dinginnya menjadi tidak karuan. Beberapa kali turbulensi angin tidak terkendali. Menerbangkan daun kering yang sudah mencoklat. Kami lebih suka berada didalam tenda, bercengkrama, menghabiskan malam dengan membuat kopi, susu coklat panas. Para laki laki membuat api unggun. Ya, dinginnya sudah menusuk nusuk jaringan. Api unggun dibuat bersama oleh beberapa tim lain. Menyala nyala menghangatkan tubuh, tepat disamping tenda kami. Tenda perempuan.
Saat dini hari. Entah apa yang dilakukan oleh temanku, tiba tiba aroma “tidak terdefinisikan” berhembus kejam merasuki celah pori pori tenda. Lagi lagi, perutku terasa memberontak. Sesak nafas. Pasalnya api unggun itu dikencingin untuk mengontrol api oleh sang penjaga yang hanya seorang diri. Entahlah. Kejadian yang agak tidak masuk akal.
Malam berlalu, pagi menjemput. Udara dingin yang berhembus masih sama seperti malam tadi. Bajuku sudah berlapis empat. Satu manset, satu kaos pendek, dua lapis jaket. Sholat subuh dengan kaki gemetaran di depan tenda. Menikmati matahari terbit, CO2 yang berhembus dari mulut mengisi atmosfer, air putih yang cukup dingin menyentuh tenggorokan. Aku selalu suka udara gunung. Aku tidak pernah bosan dengan aromanya yang membius. Pagi dimulai lagi, Selamat pagi Indonesiaku.

Sarapan, bersiap siap. Akhirnya, kami ber tujuh melanjutkan perjalanan menuju puncak Triangulasi. Kami meninggalkan tas di tenda. Dua teman kami yang tidak ikut muncak. Pundak menjadi lebih ringan. Kondisi kesehatan juga cukup fit. Semua persiapan beres. Dan petualangan dilanjutkan.
Perjalanan savanna 1, savanna 2, lalu banyak pos pos bayangan. Betapa terjalnya perjalanan menuju kesana. Kemiringan tanah sudah hampir tegak lurus. Aku tidak lagi bisa mengandalkan tracking pole dalam perjalanan di jalur ini. Yang aku butuhkan adalah mendaki dengan berpegangan rumput semak yang berbonggol kuat. Terjal. Melintasi jalur ini wajib menggunakan sarung tangan untuk menghindari lecet. Debu mengebul dari pendaki diatasnya. Jadi, bersyukurlah aku yang menggunakan kacamata. Debu beterbangan dengan bebas. Meski pagi itu cukup sejuk.
Aku tidak pernah suka mendaki menggunakan jaket, karena hal ini membuatku cepat lelah, yang disebabkan panas tubuh yang terperangkap didalamnya. Cukup kaos yang nyaman dan tidak terlalu tipis. Jadi aku terkadang lebih suka menggunakan manset dan kaos lengan pendek. Tidak terlalu membentuk tubuh. Tidak terlalu tipis, dan tidak terlalu tebal. Saya merasa pas disetiap cuaca.
Sepanjang perjalanan, kabut tipis turun pelan pelan dipuncak Merbabu. Menebal. Membungkus pemadangan kota Boyolali, menutupi lintasan yang telah kami lewati. Dingin sudah tidak lagi terasa karena panas tubuh yang dihasilkan karena lelah berjalan. Triangulasi tersaji setelah pendakian merayapi bumi. Kabut menutupi apapun dibawahnya. Sesekali merayap seperti cicak.
Aku tiba dipuncak, seperti biasa, paling terakhir diantara yang lain. Lega, takjub, bahagia, senang. Dan seketika badanku menjatuhkan diri memeluk plang sebagai rasa “akhirnyaaa”. Meresapi udara yang pelan membawa semangatku untuk bersyukur tentang banyak hal. Hidup. Perjalanan. Perjuangan. Tekad. Lagi lagi aku terbius udara itu. Wanginya, hembusannya, dinginnya, sejuknya, mesranya. Aku tidak pernah bosan untuk berjalan menuju kesana. Membawa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Segala Puji hanya BagiMu.
Saat kembali turun, aku harus lebih ekstra hati hati. Jalanan terjal yang didominasi rumput liar seukuran mata kaki cukup susah dilintasi. Saat kita membiarkan kaki berlari berbawa gravitasi, maka tidak akan mudah untuk menghentikannya. Kaki bisa berlari tanpa terkendali. Jujur saya agak takut. Tracking pole juga cukup meragukan untuk menjadi pengerem. Akhirnya aku memilih glesotan/jongkok dan membiarkan celanaku kotor meluncur kebawah sambil pegangan rumput. Sesekali aku berlari diatas rumput kering dan berhenti di pepohonan pendek yang bisa menahan tubuhku. Ya, jalur ini cukup menguras tenaga dan taktik. Tapi, semua menyenangkan. Hingga kami sampai di tenda savanna 1. Waktu yang dibutuhkan lebih pendek 2 kali lipat, seingatku kami turun hanya memerlukan waktu 2 jam.
Setelahnya, petualangan kami selesai sampai disini. Kami berkemas. Membawa kembali sampah yang kami hasilkan. Memberikan sisa makanan yang kami bawa. Kami turun sekitar jam 2 siang.
Jalur Selo gunung Merbabu didominasi oleh tanah basah yang sedikit berlumpur. Seperti jalur aliran air. Harus berhati hati karena di beberapa spot yang tanahnya licin. Jadi beruntunglah kami mendaki saat tidak terjadi hujan. Pertemuan dengan monyet penghuni Merbabu jadi hal baru bagiku. Mereka akan datang untuk meminta makanan. Sesekali coklat temanku berhasil diambilnya. Aku sehat dan selamat sampai kembali.
Hingga akhirnya, kami kembali tiba di Jogjakarta setelah magrib. Ya, setiap perjalanan mempunyai cerita masing masing. Merbabu, aku jadi tahu bahwa pikiran selalu mempengaruhi perilaku.Ternyata sakitku hanya karena ketakutanku. Aku baik baik saja. Takut akan bayang bayang sakitnya PMS yang mungkin saja bisa datang saat aku berada dipuncak. Seharusnya, aku tidak perlu takut, jalani saja. Karena nyatanya semua baik baik saja kalau kita tetap berfikir positif. Banyak hal yang terhambar hanya karena ketakutan yang sebenarnya hanyalah bukan apa apa.
Ya, seperti lirik lagu Wind yang menjadi sountrack serial Naruto “Reflection of fear make shadows of nothing”.
