Naik gunung, Semeru!

This slideshow requires JavaScript.

Semeru

Dalam catatan statistika, menunjukan Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di pulau Jawa. 3676 mdpl. Berada di bawah pengawasan Balai Taman Nasional Bromo dan Semeru, Jawa Timur. Gunung Semeru, aku punya cerita sendiri disana.

Tanggal 28 Juni – 3 Juli 2013.

Aku memutuskan untuk berhenti sejenak dari rutinitas kesibukan kepentingan di kota Yogyakarta. Kesibukan hati dan fikiran. Aku berlibur, naik gunung. Segala perlengkapan kupersiapkan dengan mendadak, aku baru memutuskan untuk pergi satu hari sebelum tim berangkat pergi. Setidaknya ada polemik tersendiri untuk memutuskan semuanya. Fisik, tanggung jawab, kecemasan orangtua, dan tekat. Halangan, rintangan, pada akhirnya terlalui dan aku berhasil pergi. Dengan penuh tanggung jawab, kusampaikan pada orang orang yang sedang bersangkutan bahwa aku membutuhkan waktu untuk merefresh diriku sendiri. Harap maklum.

Ya, akhirnya malam itu jam 21.00 aku bisa berangkat naik kereta Malioboro Express. Berkenalan dengan teman teman baru yang belum aku kenal sebelumnya. Kami 8 orang, 3 perempuan 5 laki laki. Ada Ridho Lestari, Syane Rohsinta selain itu Fikri Fauzi Firdaus, Dhieno Eka Putra, Arham Nurrrulloh, Toufik Heri Wibowo, dan Rizky Ma’rufi. Diantara mereka hanya satu yang aku kenal.

Ini kali pertama aku naik gunung yang “sesungguhnya”. Sebelumnya aku hanya sering melakukan susur pantai atau naik gunung yang bisa ditempuh hanya beberapa jam waktu itu [SMA]. Setidaknya aku punya fisik yang kuat untuk bisa mendaki gunung Semeru. Fikirku.

Petualangan yang menantang dimulai. Satu kegilaan yang pernah kulakukan.

Berangkat dari Stasiun Tugu jam 22.00, turun di Malang jam 05.00 pagi. Lalu naik angkot sampai Pasar Tempel jam 07.00. Lalu berangkat Mobil Jeep sekitar jam 9.00 sampai Ranu Pani jam 11.00. Lalu memastikan semuanya, administrasi, database barang, makan dan lain lain. Kami mulai berjalan kaki naik gunung pukul 13.00 menuju Ranu Kumbolo sampai pukul 19.00 WIB. Ranu Kumbolo menjadi camp pertama kami. Perjalanan panjang dengan jalan yang tidak sederhana, melewati jurang, tepi gunung, tanjakan tinggi, turunan, semua membuatku berkhayal naik pesawat, atau ada Edward Cullen [Tokoh di serial Twilight yang bisa terbang] membawaku ke Ranu Kumbolo. Butuh kekuatan ekstra, pengaturan energiku, belum terbiasa jalan seberat ini. Satu jam pertama, terbersit pikiran aku ingin turun, ingin menyerah, ingin pulang, sendiri. Tapi aku tak bisa, aku sudah mampu melewati tanjakan super tinggi jadi pikirku yang lain aku juga pasti bisa melewati berikutnya. Tetaplah berjalan, jangan lihat seberapa tingginya. Maka tidak disadari ternyata aku mampu. Aku membawa beban tas 60 liter. Beberapa langkah aku beristirahat, pendakianku perlahan, lebih pelan dibanding yang lain meskipun aku menggunakan Trecking pole [tongkat mendaki]. Tapi kata temanku, aku cukup kuat dan baik bagi para pemula dengan. Saat sore menjelang, kabut tipis perlahan mulai turun jam 3an. Udara dingin mulai menyeragapi tubuhku, tapi ini tidak terasa karena matabolisme tubuhku lebih panas. Rintik hujan turun kala itu. Perjalanan menggunakan ponco jelas membuat lebih berat. Tapi anehnya, justu setelah itu aku seperti punya kekuatan berlipat. Lebih kuat dari sebelumnya, mungkin karena aku suka hujan. Aku berjalan lebih cepat tidak banyak istirahat. Hujan semeru waktu itu seperti menyihirku, Tuhan memberi aku kedamaian lewat air kabut tadi sore. Hingga akhirnya aku sampai di Ranu Kumbolo jam 19.00. Tak menyangka aku bisa sampai disana, melihat gunung bukit yang tinggi aku terpaku, takjub, dan kagum. Tuhan, sumber segala kekuatan itu.

Kami langsung mendirikan tenda. Ranu Kumbolo ramai sekali waktu itu. Sayang sekali. Aku baru tahu, Gunung Semeru sekarang lebih ramai didaki sejak ada film 5cm dibioskop. Kami memasak mie rebus, kopi, coklat, dan menanak nasi dengan nasting. Soal buang kotoran menjadi sedikit dilematis, tidak ada toilet dan harus menggali tanah di tempat tak terlihat jauh dan dibersihkan dengan tissue basah. Kalau aku, sambil menggunakan ponco untuk mengantisipasi dilihat orang. Disepanjang tanjakan balik bukit banyak sekali kotaran [biasa disebut ranjau] para pendaki. Menjijikan.

Paginya, kami melanjutkan lagi perjalanan jam 09.00 pagi. Setiap pendaki tidak boleh meninggalkan sampahnya di gunung. Lalu kami mengisi botol aqua dengan air danau, dan beberapa di kempeskan untuk kita bawa naik. Sampah bekas masak bisa dititipkan di posko. Harus meninggalkan KTP tentunya. Kami juga bertemu dengan tim dari jogja, kami sebut tim bacok [nama ketuanya]. Kami semua mulai berteman sejak itu.

Perjalanan dari Ranu Kumbolo ke Kalimati dimulai dengan mendaki Tanjakan Cinta. Tanjakan dengan sudut elevasi [sepertinya] lebih dari 45o. Aku tak tau pasti kenapa dinamai Tanjakan Cinta, mungkin disanalah cinta laki laki yang membawa perempuannya diuji. Setelah itu terbayar dengan melewati padang lavender yang baru pertama kulihat. Indahnya tak terkatakan. Ungu, hijau, biru, semua jenis warna tampak tajam. Perjalananku semakin payah, sepanjang mata memandang, semua jalanan menanjak dengan elevasi yang berbeda beda. Energiku terkuras, aku seperti tak punya tenaga lagi. Letih sekali rasanya, semakin sedikit langkah yang bisa kutempuh. Setiap ada pohon atau ruang agak luas aku langsung menyungkurkan badanku. Tergeletak tak berdaya. Ditengah hutan, terfikir ingin kembali tapi itu pilihan bodoh. Maka aku tetap berjalan, dan terus  berjalan semampuku. Setiap pendaki lain yang berpapasan denganku pasti bilang “Semangat mba, cuma sebentar lagi kok”. Pikirku, “PHP [Pemberi Harapan Palsu] banget”. Padahal camp Kalimati masih jauh sekali. Begitulah keramahan digunung, setiap pendaki pasti menyapa pendaki lain yang berpapasan. Sainganku waktu itu adalah seorang laki laki anak SMA gendut sekali mungkin berbobot >100 kg. Kita sama sama payah dalam jalan menanjak. Sedikit malu sebenarnya. Mencoba mengumpulkan energi dengan gula jawa. Belum juga membuatku lebih berenergi. Saat itu, aku ingin hujan turun lagi. Tapi tidak. Beberapa meter sebelum Jambangan seorang teman [bertugas sebagai sweeper] membantuku membawa carier. Agar aku lebih kuat untuk terus berjalan. Aku menjadi sedikit merepotkan.

Aku sampai di Jambangan, pos sebelum Kalimati. Temanku yang lain sudah menungguku disana lebih dari satu jam. Makan mie rebus yang ditawarkan dari kelompok pendaki tak kukenal cukup membuatku lebih bertenaga. Agak lama beristirahat. Yang lain mungkin sudah sampai, dan tertinggal kami bertiga. Perjalanan tidak terlalu lama, satu jam mungkin. Hingga akhirnya kami semua sampai di camp  terakhir kami, Kalimati.

Seperti biasa, takjub. Mahameru terlihat lebih dekat di depan mata dengan tekstur setengah vegetasi dan setengah pasir, batu besar. Mendaki itu yang ditaklukan bukanlah gunungnya, tapi diri sendiri. Aku tidak bisa berkata apa apa.

Tengah malam sekitar pukul 12.00 semua bersiap siap untuk mendaki Mahameru, puncak Gunung Semeru. Kali ini, semua barang ditinggal di camp. Mendaki Mahameru perlu mental, fisik, perlengkapan, dan kebersamaan yang kuat. Baju tebal, sepatu tertutup, dan makanan sumber energi. Aku memutuskan untuk tidak ikut, fisikku masih dalam proses recovery. Dan aku tidak cukup berani keatas dengan perlengkapan yang aku bawa. Akhirnya, aku ditinggal di camp  sendirian 7 anggota lain naik Mahameru. Aku melewati malam sendirian didalam tenda yang gelap dan dingin. Menakutkan. Aku hanya berusaha memejamkan mata, membaca doa, dan berharap aku segera terlelap. Atau mungkin waktu berjalan cepat, dan matahari segera terbit. Mengurangi gerak dan suara. Aku memberanikan diri.

Setiap pendaki harus sudah turun dari Mahameru sebelum jam 10.00 pagi, katanya gas yang dikeluarkan sudah berbeda dan beracun dan berhubungan dengan arah letusan. Ini berdasarkan analisis kematian Soe Hok Gie. Jadi mereka mendaki tengah malam. Itu pun, sampai dipuncak jam 08.00 pagi. Tidak mudah mendaki Mahameru, satu langkah maju, dua langkah mundur lagi. Ada yang merangkak, dan ada yang pakai tali. Aku belum pernah merasakannya sendiri.

Paginya, aku sendirian mempersiapkan makan dan semuanya. Aku melihat kilat senter, dan mendengar letusan diatas sana. Mereka masih diatas sana. Tapi, syukurlah tidak terlalu berbahaya karena asap tidak mengenai pendaki.

Pagi itu, salah seorang teman pendaki dari tim lain, mengajakku dengan simpati untuk mengambil air. Aku tak punya pilihan untuk malas atau takut, tidak ada teman satu timku disini dan aku butuh air untuk masak. Akhirnya aku ikut pergi ke Sumber Mani namanya. Air hanya bisa didapatkan disini, cukup jauh dan masuk kehutan. Perjalanan kesana cukup cepat karena jalanan menurun dan membawa tas carier yang hanya berisi botol kosong. Ada dua pancuran air di Sumber Mani, dibaliknnya banyak batu batu besar. Airnya dingin dan segar, aku menyempatkan untuk mencuci mukaku dengan sabun. Dan jalan kembali sangat menyiksa, tanjakan tajam. Konon katanya di sekitar Sumber mani pernah ada yang melihat Macan. Dan tidak banyak orang yang pernah kesini. Seorang teman bilang, “beruntung kamu sebagai pemula bisa ke Sumber Mani”. Beneran atau mungkin hanya menghibur karena aku tidak sampai Mahameru.

Saat aku sendiri, aku mulai belajar banyak hal dari rombongan lain. Masak masakan ala pendaki. Lontong, tempe, dan lain lain. Karena sebelumnya aku tidak terlalu terampil memasak. Jam 12.00 siang semua timku baru tiba. Ada yang muntah muntah dipuncak, ada yang kakinya cedera. Tapi syukurlah mereka semua pada akhirnya kembali.

Jam 4 sore, kami melakukan perjalanan kembali turun ke ranu Kumbolo. Sebenarnya aku sedikit khawatir dengan perjalanan dimalam hari. Jalanan turun gunung tidak sepenuhnya menurun, masih tetap ada tanjakan dibeberapa kesempatan. Tapi kali ini aku lebih menikmati. Aku punya stamina yang baik dan cukup energi. Beberapa teman menjadi pelan pasca Mahameru, ada yang cedera kaki. Aku ada diurutan ketiga. Dua temanku didepan sangat cepat, aku tidak bisa mengikutinya, sedangkan temanku dibelakang sudah tertinggal jauh. Tidak sadar bahwa aku jalan sendirian. Ditengah Hutan. Sepi sekali rasanya, tapi damai dan menyenangkan. Suhu dingin yang menusuk perlahan ke tubuhku membuatku sedikit menggigil. Sesekali bulu rona merinding karena dingin. Aku terus berjalan, ada rasa takut yang menyelip perlahan. Ada rasa khawatir aku salah jalan. Aku hanya berdoa, meminta pentunjuk dan perlindungan dariNya. Aku masih berjalan mencoba membuat suasana bahagia dan tenang. Ada burung kecil terbang didepannya sepanjang perjalanku sendiri. Dia terbang dari satu pohon kepohon yang lain sepanjang jalur pendakian. Berharap segera berpapasan dengan pendaki lain. Tapi kali ini sepi, tidak seramai saat naik. Beberapa kali aku ikut gabung dengan pendaki lain yang papasan beristirahat [meskipun sebenarnya aku tidak capek, hanya takut sendirian]. Aku fikir ini bukan solusi yang baik, hari sudah semakin petang. Ini akan memperparah keadaan. Aku harus segera sampai di Ranu Kumbolo. Aku terus berjalan lagi dengan carier 60 liter dipunggung, sedikit berlari, sedikit bernyanyi, aku menikmati, aku lebih lincah.

Cukup lama, hingga akhirnya aku mendapati teman timku di ujung padang lavender. Mereka menungguku. Tepat saat matahari tenggelam sempurna, gelap. Aku sampai di Ranu Kumbolo. Kami ngecamp disini lagi. Sepi. Beberapa masih dalam perjalanan. Mengambil lagi sampah yang kita tinggal.

Kami beristirahat, bermain, foto foto, mengurusi iuran dan lain lain. Esoknya kami kembali ke Ranu Pani jam 13.30 siang. Waktu itu terasa seperti pagi, kabut tebal menyelimuti Ranu Kumbolo. Perjalanan lebih cepat dari sebelumnya, aku juga lebih lincah. Aku lemah di jalan Tanjakan. Tapi begini seninya naik gunung, mendaki tak selamanya jalan menanjak, turun gunung juga tak selamanya jalanan menurun. Tak peduli setinggi apa tanjakananya, berjalanlah dengan penuh suka cita. Begitu pula dengan hidup.

Ya, akhirnya aku tak sadar aku sedikit gila. Berlibur kesini dan aku bisa mendaki setinggi itu. Rasanya aku pengen pingsan karena tak percaya. Perjalanan yang ditempuh kurang lebih 40 kilometer jalan kaki.

Akhirnya kami pulang terpisah, ada yang naik bus, naik kerata. Sedangkan aku naik bus. Kami harus ke Surabaya terlebih dulu karena kehabisan tiket di terminal Malang.

Seperti biasa, kulit mukaku menghitam. Sensitiv sengatan UV, sedikit terbakar dan mengelupas.

Aku tak menyesal, nantinya juga akan kembali ke kulit asli. Tapi setidaknya sekarang aku belajar merawat diri dengan telaten. Aku rindu naik gunung lagi, dengan kedamaianya yang menentramkan, dengan dinginnya yang membuat rindu terasa mesra, hujan yang turun membuat syukur tak terkira, jalanan yang membuatku belajar.

Naik gunung, membuatku banyak belajar. Tentang kehidupan.

One thought on “Naik gunung, Semeru!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s