Malam ini hujan turun membabi buta, deras sampai aku tak mampu mendengar suara kendaraan yang berlalu lalang dijalanan kota. Lampu cafe yang redup membuat suasana menjadi sedikit melankolis. Seperti cerita perpisahan di roman picisan kawakan. Aku menunggunya datang, tapi juga tak kunjung muncul dibalik pintu. Beberapa kali bunyi derit pintu, membuatku menoleh. Aku harap – harap cemas. Apakah dia tidak datang karena hujan deras?
Spekulasi dari perempuan yang putus asa merajai otakku, mendadak nyeri diseluruh tubuh. Terlalu melankolis. Tiga puluh menit telah berlalu. Aku masih menunggu disini sendiri, dengan hidangan cheese banana split dan secangkit coklat panas yang jadi tidak menggugah selera. Sediki gusar, aku memilih menulis saja dibuku catatanku. Tentang apa yang melintas dikepalaku. Baru tiga baris yang kutulis, tiba tiba
“Diandra, maaf aku datang telat, diluar hujan sangat deras” langsung dia duduk dikursi depanku.
Rambutnya basah dan bercak air di beberapa bagian jaketnya. Dalam hati, “aku juga hujan hujanan”. Mengagetkan, segera kumasukkan buku catatanku kedalam tasku.
Aku hanya tersenyum sempit. Rasanya sudah lama sekali tidak duduk bersama seperti ini. Berbulan bulan lamanya. Lama sekali. Sedikit canggung.
“Ada apa mengundangku kemari” katanya santai. Sejenak dia membuat tenggorokanku tercekat. Rasanya aku ingin teriak karena aku mencintaimu. Tapi pasti dia juga tidak akan paham. Karena mungkin rasa didalam dadanya sudah mati sejak beberapa bulan yang lalu. Kini tinggal aku sendirian merawatnya dengan lemah. Bahkan dia juga tidak akan pernah paham kenapa aku masih tetap menulis, bercerita tentang penghidupan manusia dan ceritanya. Dia juga tidak akan paham aku selalu mencari jejak langkahnya setiap saat, dalam persembunyian. Menjadi stalker tak berbayar. Dia tak mengerti bagaimana perasaanku teriris dengan rapi saat dia membenciku dan mengeluhkan beberapa hal dengan suara yang seakan tak terdengar. Sayup sayup, tapi telingaku menjadi setajam macan saat dengar tentangnya. Entahlah, mungkin aku tidak berusaha membuatnya paham, jadi wajar saja dia tidak paham. Kedalaman hati tak bisa diselam hanya dengan pikiran, tapi juga dengan empati. Dan kepercayaan. Dia tak kan paham, karena baginya tak perlu ada yang dipahami dari seorang perempuan sepertiku. Perempuan biasa tak istimewa.
Aku berniat bicara tentang aku dan perasaanku, tapi aku takut dia semakin menjadi asing. Akhirnya aku memutuskan untuk bercanda saja, bicara tentang kebudayaan dan masalah masayarakat. Setidaknya aku bisa menjadi teman baginya. Malam ini, sebelum kepergianku hari selasa lusa.
Waktu berjalan cepat, sudah menunjukan pukul 22.00. Aku harus segera pulang. Kami larut dalam perbincangan santai, dan sederhana. Hujan malam ini cukup melankolis untuk dikenang. Karena aku mencintainya hanya dalam hati. Sudah tak punya keberanian untuk mengungkapnya lagi. Aku akan menulisnya, suatu saat nanti dia akan baca. Saat semua mungkin menjadi absurbd tak jelas mana yang fiksi mana yang ceritaku sendiri. Aku pulang membawa sebongkah rasa yang masih tertinggal, dia sudah tak peduli lagi. Aku pergi dengan membawa tanggungjawab yang kuemban, yaitu jatuh cinta padanya. Kami berpisah di persimpangan jalan, dia tak menoleh kebelakang. Hujan sedikit reda, aku masih terpaku diam seperti tak bernyawa. Entah apa. Menyesal tidak bicara atau karena dia terlalu terluka. Lusa aku pergi dan membawa semuanya. Tanpa dia dan cinta darinya.
Kemarin ku lihat awan membentuk wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku
Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Aku pun sadari, ku segera berlari
Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi
Alirnya bagai sungai yang mendamba samudera
Ku tahu pasti kemana kan ku bermuara
Semoga ada waktu sayangku
Ku percaya alam pun berbahasa
Ada makna di balik semua pertanda
Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya
Aku tak peduli, ku terus berlari
Cepat pulang cepat kembali, jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Dan lihatlah sayang
Hujan turun membasahi seolah ku berairmata
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali, jangan pergi lagi
Ku hanya ingin kau kembali
Aku pun sadari
Kau takkan kembali lagi
Firasat-Raisa